Jumat, 29 Juli 2011

“Bahasa Verbal dalam Komunikasi Antar Budaya”


Kata orang bijak, satu-satunya hal yang alami dan konstan adalah perubahan. Kita tentu sangat mengerti hal itu. Begitu juga bahasa dan budaya. Bahasa dan budaya yang ada sekarang adalah hasil pengembangbiakkan selama ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun yang lalu. Bahasa yang kita kenal sekarang, yang kita peroleh dari orang tua dan lingkungan di sekitar kita, juga merupakan hasil sebuah proses yang sangat panjang.
Sebenarnya bagaimana bahasa diperoleh? Seorang anak keturunan Jawa, bila sejak lahir diajari bahasa Inggris, misalnya, tentu dia akan menguasainya. Begitu juga ketika seorang anak keturunan suku Dayak, misalnya, akan menguasai bahasa Cina jika memang diajarkan sejak dini. Ketika seorang anak dihadapkan pada sebuah bahasa sejak masa sangat dini, dia akan menguasainya jika memang diberi stimuli yang berkesinambungan.

Bahasa, sebagai sebuah struktur, mempunyai bentuk-bentuk tertentu yang teratur dan berlainan satu dengan lainnya. Sebagai sebuah simbol, bahasa juga mempunyai simbol-simbol yang khas yang membedakannya dengan bahasa lain. Kita mengenal huruf-huruf Jawa, Pallawa, India, Hieroglif dan sebagainya yang semuanya memiliki kekhasan tersendiri.

Manusia, apabila sejak dini diperkenalkan pada sebuah bahasa yang bukan bahasa ibunya, maka niscaya ia dapat menguasainya. Mengapa bisa demikian? Pastilah ada sesuatu yang universal pada sebuah bahasa. Ada sesuatu yang merupakan ciri universal bahasa yang bisa dikenali dan bisa diaplikasikan kepada semua bahasa. Chomsky memberi pengertian mengenai keuniversalan bahasa. Dia membagi keuniversalan bahasa menjadi dua kelompok, yaitu keuniversalan substantif dan keuniversalan formal. [Diakses dari www.pusatbahasa.diknas.go.id]

Keuniversalan substantif merupakan elemen pembentuk bahasa sedangkan keuniversalan formal merupakan formula untuk meramu elemen bahasa. Nomina dan verba pada sebuah bahasa adalah contoh keuniversalan substantif. Bagaimana kedua elemen ini dipergunakan adalah urusan keuniversalan formal.

Masih menurut Chomsky, otak manusia memiliki kapling-kapling intelektual. Salah satu kapling itu nantinya diperuntukkan bagi pemakaian dan pemerolehan bahasa. Pada saat lahir, seorang anak memiliki bekal bawaan yang dinamakan Language Acquisition Device. Piranti inilah yang nantinya menerima korpus dari lingkungan dalam bentuk—antara lain—kalimat. Dengan demikian, pemerolehan bahasa bukanlah proses yang dilakukan oleh, melainkan terjadi pada anak.

Proses komunikasi secara primer pada komunikasi antarbudaya menggunakan bahasa sebagai media utamanya. Mengapa? Karena hanya bahasalah yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Bahasa dalam komunikasi bisa berbenatuk verbal maupun nonverbal. Pesan verbal menunjukkan pesan yang dikirimkan dan atau diterima dalam bentuk kata-kata, baik lisan (oral, vokal) maupun tulisan (written, visual).

Secara etimologi, verbal berasal dari kata verb (bahasa latin) yang berarti word (kata), dan merupakan terjemahan dari bahasa Yunani rhema yang berarti sesuatu yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian suatu peristiwa, atau sesuatu yang digunakan sebagai pembantu yang menghubungkan suatu predikat. Kata verbal sendiri berasal dari bahasa latin, verbalis, verbum yang berarti “bermakna melalui kata” atau berkaitan dengan kata yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide atau tindakan yang umumnya berbentuk percakapan lisan dari pada tulisan .

Sebagai sebuah sistem makna, bahasa merupakan sarana untuk bertukar pikiran, bertukar makna-makna dalam komunikasi. Karena itulah bahasa memiliki peran yang vital dalam komunikasi antarbudaya. Bahasa dalam kontek apapun jenisnya, ilmunya, budayanya, hubungannya, ia senantiasa memiliki variasi dan makna tertentu.

Dalam komunikasi antar budaya, bahasa verbal dapat efektif dikomunikasikan jika komunikan yang menerima pesan paham dengan bahasa yang digunakan. Kadang bahasa antar daerah satu dengan yang lainnya memiliki arti yang hampir sama. Contohnya bahasa Sanggau, Sintang, dan Kapuas hulu memiliki arti dan makna kata yang hampir sama. Hanya logat dan intonasinya yang agak berbeda. Misalnya, ao’ yang dalam bahasa Sanggau berarti “Ya” sama juga dengan di Sintang dan Kapuas Hulu. Dengan adanya persamaan seperti itu terkadang membuat komunikator tidak perlu susah-susah menyampaikan pesan kepada komunikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar